Senin, 19 Maret 2012

EKONOMI KESEIMBANGAN KONSUMEN

KESEIMBANGAN KONSUMEN

Tingkat keseimbangan adalah tingkat pendapatan dimana pengeluaran yang direncanakan adalah sama dengan pengeluaran yang sebenarnya, sehingga tidak terdapat penimbunan atau pengurangan persediaan secara tidak sengaja. Dalam ekonomi Islam, setiap pelaku ekonomi Islam selalu menaruh perhatian pada mashlahah sebagai tahapan dalam mencapai tujuan ekonominya, yaitu falah. Konsumen Muslim menggunakan kandungan berkah dalam setiap barang sebagai indikator apakah barang yang akan dikonsumsi tersebut akan bisa menghadirkan berkah atau tidak. Sebagai akibatnya, konsumen Muslim tidak hanya mempertimbangkan manfaat  dari barang yang akan dikonsumsinya, tetapi juga kandungan berkah yang
Di lain pihak, pelaku ekonomi Muslim menghadapi kendala dalam memaksimumkan mashlahah. Kendala ini adalah anggaran (budget). Sebagai akibat dari kepedulian terhadap mashlahah yang bisa dirasakan dari kandungan berkah, maka setiap konsumen Muslim harus memilih barang yang mempunyai kandungan berkah. Oleh karena itu, mereka perlu menentukan kriteria bagi setiap barang yang akan dikonsumsinya. Kriteria ini adalah berkah rata-rata minimum yang harus sama dengan berkah yang bisa diperoleh dari konsumsi barang halal.
Keseimbangan konsumsi dalam ekonomi Islam didasarkan pula pada prinsip keadilan distribusi. Jika Tuan A mengalokasikan pendapatannya setahun hanya untuk kebutuhan materi, dia tidak berlaku adil karena ada pos yang belum ia belanjakan, yaitu konsumsi sosial. Jika demikian, sesungguhnya dia hanya bertindak untuk jalannya di dunia, tetapi tidak bertindak untuk jalannya di akhirat.
Seorang konsumen Muslim akan mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan duniawi dan ukhrawinya. Setelah dia mendapatkan dalam jumlah tertentu, dia zakati hartanya terlebih dahulu. Dari sini kita mulai melihat muara keunikan perilaku konsumen Muslim. Setelah kewajiban zakat dia tunaikan sebesar 2.5 % dari uang yang dihasilkannya secara halal, kemudian dia penuhi pos-pos konsumsi mulai dari barang, jasa, hingga sedekah.
1-Z berarti seluruh jumlah pendapatannya yang telahmencapai atau melebihi nisab dikurangi zakat sebesar 2.5%. Sisa dari pengurangan zakat tersebut sama dengan jumlah uang yang akan dikomsumsinya untuk pos-pos konsumsi yang lain. Tuan A berharap kelak uang yang dia pergunakan untuk pos-pos konsumsi mendatangkan kepuasan bagi dirinya. Dalam ekonomi Islam, kepuasan konsumsi bergantung pada nilai-nilai agama yang dia terapkan pada rutinitas kegiatannya, tercermin pada alokasi uang yang dibelanjakannya. Dengan demikian, jika dia menjalankan ajaran agama dengan baik, dia akan menghindari israf, karena israf  merupakan sikap boros yang dengan sadar dilakukan hanya untuk memenuhi tuntutan hawa nafsu.
Dalam hal ini dipahami bahwa jika Tuan A tidak berlaku israf, dia akan membatasi konsumsinya pada jenis komoditi yang halal saja sekaligus dia tidak membelanjakan pendapatannya pada jumlah yang berlebihan.
Rasulullah saw juga  menjelaskan prinsip keadilan dan kesederhanaan dalam membelanjakan harta sesuai dengan sabda beliau :”Kesederhanaan (keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran) merupakan suatu kebahagiaan dalam kehidupan ekonomi.”
Sementara itu Imam Razi telah menjelaskan ayat Al-Quran teresbut dengan mengatakan bahwa Allah menganggapnya kesederhanaan dan tidak pula bakhhil dalam membelanjakan harta benda, merupakan sifat-sifat dari hamba-Nya yang baik.
Oleh karena itu, jalan terbaik yang disarankan ialah jalan pertengahan  yaitu jalan yang tidak membahayakan keutuhan sistem ekonomi, sehingga semua orang mendapat faedah dari harta kekayaannya.
Ringkasnya, “Islam mengakui hak setiap orang untuk memiliki semua harta benda yang diperolehnya dengan cara yang halal. Tetapi Islam tidak membenarkan penggunaan harta yang diperolehnya itu dengan cara yang sewenang-wenang. Islam membatasi penggunaannya. Jelasnya hanya terdapat tiga penggunaan  yang munasabah terhadap harta yang diperoleh seseorang. Dibelanjakan atau diinvestasikan untuk pengembangan hartanya atau disimpan saja.
Bahwa semua penggunaan harta yang mengakibatkan kerusakan akhlak dan masyarakat haruslah dielakkan. Tidak diperkenankan menggunakan harta benda untuk berjudi. Memboroskan uang untuk mendengarkan musik yang melalaikan ingatan kepada Allah dan berbagai tarian atau lain-lain cara memuaskan hawa nafsu belaka. Bentuk-bentuk pembelanjaan yang dianggap halal ialah apabila seseorang itu mampu hidup dengan memuaskan kebutuhannya pada taraf yang sederhana. Jika terdapat kelebihan Islam menganjurkan supaya itu digunakan untuk amal kebaikan, seperti memberikan bantuan kepada fakir miskin dan berusaha mendapat bagian yang sewajarnya. Menurut Islam, jalan terbaik yang perlu diikuti ialah dengan membelanjakan semua harta yang dimiliki  menurut keperluan yang wajar dan halal. Dan jika kelebihan sebaiknya disumbang kepada orang lain yang lebih membutuhkan.
Menurut ekonomi konvensional keseimbangan konsumen dapat diketahui melalui dua pendekatan, yaitu :
1.      Pendekatan dengan menggunakan kurva indeference yang dikenal dengan pendekatan ordinal.
2.      Pendekatan matematis yang dikenal dengan pendekatan marginal.
Kedua pendekatan tesebut dapat juga diterapkan dalam ekonomi Islam. Hanya saja tidak menggunakan istilah kepuasan maksimal melainkan kepuasan optimal melalui penerapan zakat lebih dahulu. Dengan demikian titik kepuasan yang dicapai untuk konsumen yang mampu membayar zakat lebih rendah dibanding dengan kepuasan konsumen pada ekonomi konvensional. Namun sebaliknya konsumen yang tidak mampu atau yang berhak menerima zakat mempunyai kepuasan optimal yang lebih tinggi dari posisi semula, yaitu pada saat belum menerima zakat.
Dewasa ini semakin disadari bahwa konsumsi bukan urusan individu melulu, melainkan gejala sosial, yang dipengaruhi oleh pola kebudayaan dan lingkungan sosial dengan sistem nilai yang berlaku di dalamnya.
Faktor-faktor yang ikut memengaruhi perilaku konsumen :
a.      Faktor individual : setiap orang mempunyai sifat, bakat, minat, motivasi, dan selera sendiri. Pola konsumsi mungkin juga dipengaruhi oleh faktor emosional. Sebagian hal ini memerlukan bantuan psikolog untuk menjelaskannya. Tetapi ada juga faktor objektif, seperti umur, kelompok umur, dan lingkungan yang memengaruhi tidak hanya pada apa yang dikonsumsi tetapi juga kapan, berapa, model-modelnya, dan sebagainya.
b.      Faktor ekonomi : selain harga barang, pendapatan konsumen dan adanya substitusi, ada beberapa hal lain yang ikut berpengaruh terhadap permintaan seseorang/keluarga :
·         Lingkungan fisik (panas, dingin, basah, kering, dsb)
·         Kekayaan yang sudah dimiliki
·         Pandangan/harapan mengenai penghasilan di masa yang akan datang
·         Besarnya keluarga
·         Tersedia tidaknya kredit murah untuk konsumsi
c.       Faktor sosial : orang hidup dalam masyarakat, dan harus menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Sudah disebutkan bahwa gaya hidup menjadi contoh yang suka ditiru oleh golongan masyarakat lainnya. Pada hal pola konsumsi orang kaya sebagian hanya untuk pamer, barang dibeli justru karena mahal. Dalam masyarakat kita unsur ‘tidak mau kalah dengan tetangga’ masih amat kuat.
d.      Faktor kebudayaan : pertimbangan berdasarkan agama dan adat kebiasaan dapat membuat keputusan untuk konsumsi jauh berbeda dengan apa yang diandaikan dalam teori.


[1]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar