KESEIMBANGAN KONSUMEN
Tingkat keseimbangan adalah tingkat pendapatan
dimana pengeluaran yang direncanakan adalah sama dengan pengeluaran yang
sebenarnya, sehingga tidak terdapat penimbunan atau pengurangan persediaan
secara tidak sengaja.
Dalam ekonomi Islam, setiap pelaku ekonomi Islam selalu menaruh perhatian pada mashlahah
sebagai tahapan dalam mencapai tujuan ekonominya, yaitu falah. Konsumen Muslim
menggunakan kandungan berkah dalam setiap barang sebagai indikator apakah
barang yang akan dikonsumsi tersebut akan bisa menghadirkan berkah atau tidak.
Sebagai akibatnya, konsumen Muslim tidak hanya mempertimbangkan manfaat dari barang yang akan dikonsumsinya, tetapi
juga kandungan berkah yang
Di lain pihak, pelaku ekonomi Muslim menghadapi
kendala dalam memaksimumkan mashlahah. Kendala ini adalah anggaran
(budget). Sebagai akibat dari kepedulian terhadap mashlahah yang bisa
dirasakan dari kandungan berkah, maka setiap konsumen Muslim harus memilih
barang yang mempunyai kandungan berkah. Oleh karena itu, mereka perlu
menentukan kriteria bagi setiap barang yang akan dikonsumsinya. Kriteria ini
adalah berkah rata-rata minimum yang harus sama dengan berkah yang bisa
diperoleh dari konsumsi barang halal.
Keseimbangan konsumsi dalam ekonomi Islam didasarkan
pula pada prinsip keadilan distribusi. Jika Tuan A mengalokasikan pendapatannya
setahun hanya untuk kebutuhan materi, dia tidak berlaku adil karena ada pos
yang belum ia belanjakan, yaitu konsumsi sosial. Jika demikian, sesungguhnya
dia hanya bertindak untuk jalannya di dunia, tetapi tidak bertindak untuk
jalannya di akhirat.
Seorang konsumen Muslim akan mengalokasikan
pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan duniawi dan ukhrawinya. Setelah dia
mendapatkan dalam jumlah tertentu, dia zakati hartanya terlebih dahulu. Dari
sini kita mulai melihat muara keunikan perilaku konsumen Muslim. Setelah
kewajiban zakat dia tunaikan sebesar 2.5 % dari uang yang dihasilkannya secara
halal, kemudian dia penuhi pos-pos konsumsi mulai dari barang, jasa, hingga
sedekah.
1-Z berarti seluruh jumlah pendapatannya yang
telahmencapai atau melebihi nisab dikurangi zakat sebesar 2.5%. Sisa dari
pengurangan zakat tersebut sama dengan jumlah uang yang akan dikomsumsinya
untuk pos-pos konsumsi yang lain. Tuan A berharap kelak uang yang dia
pergunakan untuk pos-pos konsumsi mendatangkan kepuasan bagi dirinya. Dalam
ekonomi Islam, kepuasan konsumsi bergantung pada nilai-nilai agama yang dia
terapkan pada rutinitas kegiatannya, tercermin pada alokasi uang yang
dibelanjakannya. Dengan demikian, jika dia menjalankan ajaran agama dengan
baik, dia akan menghindari israf, karena israf merupakan sikap boros yang dengan sadar
dilakukan hanya untuk memenuhi tuntutan hawa nafsu.
Dalam hal ini dipahami bahwa jika Tuan A tidak
berlaku israf, dia akan membatasi konsumsinya pada jenis komoditi yang
halal saja sekaligus dia tidak membelanjakan pendapatannya pada jumlah yang
berlebihan.
Rasulullah saw juga
menjelaskan prinsip keadilan dan kesederhanaan dalam membelanjakan harta
sesuai dengan sabda beliau :”Kesederhanaan (keseimbangan antara pemasukan
dan pengeluaran) merupakan suatu kebahagiaan dalam kehidupan ekonomi.”
Sementara itu Imam Razi telah menjelaskan ayat
Al-Quran teresbut dengan mengatakan bahwa Allah menganggapnya kesederhanaan dan
tidak pula bakhhil dalam membelanjakan harta benda, merupakan sifat-sifat dari
hamba-Nya yang baik.
Oleh karena itu, jalan terbaik yang disarankan ialah
jalan pertengahan yaitu jalan yang tidak
membahayakan keutuhan sistem ekonomi, sehingga semua orang mendapat faedah dari
harta kekayaannya.
Ringkasnya, “Islam mengakui hak setiap orang untuk
memiliki semua harta benda yang diperolehnya dengan cara yang halal. Tetapi
Islam tidak membenarkan penggunaan harta yang diperolehnya itu dengan cara yang
sewenang-wenang. Islam membatasi penggunaannya. Jelasnya hanya terdapat tiga
penggunaan yang munasabah terhadap harta
yang diperoleh seseorang. Dibelanjakan atau diinvestasikan untuk pengembangan
hartanya atau disimpan saja.
Bahwa semua penggunaan harta yang mengakibatkan
kerusakan akhlak dan masyarakat haruslah dielakkan. Tidak diperkenankan
menggunakan harta benda untuk berjudi. Memboroskan uang untuk mendengarkan
musik yang melalaikan ingatan kepada Allah dan berbagai tarian atau lain-lain
cara memuaskan hawa nafsu belaka. Bentuk-bentuk pembelanjaan yang dianggap
halal ialah apabila seseorang itu mampu hidup dengan memuaskan kebutuhannya
pada taraf yang sederhana. Jika terdapat kelebihan Islam menganjurkan supaya
itu digunakan untuk amal kebaikan, seperti memberikan bantuan kepada fakir
miskin dan berusaha mendapat bagian yang sewajarnya. Menurut Islam, jalan
terbaik yang perlu diikuti ialah dengan membelanjakan semua harta yang
dimiliki menurut keperluan yang wajar
dan halal. Dan jika kelebihan sebaiknya disumbang kepada orang lain yang lebih
membutuhkan.
Menurut ekonomi konvensional keseimbangan konsumen
dapat diketahui melalui dua pendekatan, yaitu :
1.
Pendekatan dengan menggunakan kurva
indeference yang dikenal dengan pendekatan ordinal.
2.
Pendekatan matematis yang dikenal dengan
pendekatan marginal.
Kedua
pendekatan tesebut dapat juga diterapkan dalam ekonomi Islam. Hanya saja tidak
menggunakan istilah kepuasan maksimal melainkan kepuasan optimal melalui
penerapan zakat lebih dahulu. Dengan demikian titik kepuasan yang dicapai untuk
konsumen yang mampu membayar zakat lebih rendah dibanding dengan kepuasan
konsumen pada ekonomi konvensional. Namun sebaliknya konsumen yang tidak mampu
atau yang berhak menerima zakat mempunyai kepuasan optimal yang lebih tinggi
dari posisi semula, yaitu pada saat belum menerima zakat.
Dewasa
ini semakin disadari bahwa konsumsi bukan urusan individu melulu, melainkan
gejala sosial, yang dipengaruhi oleh pola kebudayaan dan lingkungan sosial
dengan sistem nilai yang berlaku di dalamnya.
Faktor-faktor
yang ikut memengaruhi perilaku konsumen :
a. Faktor
individual : setiap
orang mempunyai sifat, bakat, minat, motivasi, dan selera sendiri. Pola
konsumsi mungkin juga dipengaruhi oleh faktor emosional. Sebagian hal ini
memerlukan bantuan psikolog untuk menjelaskannya. Tetapi ada juga faktor
objektif, seperti umur, kelompok umur, dan lingkungan yang memengaruhi tidak
hanya pada apa yang dikonsumsi tetapi juga kapan, berapa, model-modelnya, dan
sebagainya.
b. Faktor
ekonomi : selain
harga barang, pendapatan konsumen dan adanya substitusi, ada beberapa hal lain
yang ikut berpengaruh terhadap permintaan seseorang/keluarga :
·
Lingkungan fisik (panas, dingin, basah,
kering, dsb)
·
Kekayaan yang sudah dimiliki
·
Pandangan/harapan mengenai penghasilan
di masa yang akan datang
·
Besarnya keluarga
·
Tersedia tidaknya kredit murah untuk
konsumsi
c. Faktor
sosial :
orang hidup dalam masyarakat, dan harus menyesuaikan diri dengan lingkungan
sosialnya. Sudah disebutkan bahwa gaya hidup menjadi contoh yang suka ditiru
oleh golongan masyarakat lainnya. Pada hal pola konsumsi orang kaya sebagian
hanya untuk pamer, barang dibeli justru karena mahal. Dalam masyarakat kita
unsur ‘tidak mau kalah dengan tetangga’ masih amat kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar